Hari ini saya membuat ilustrasi berjudul "Negeri Sirkus" untuk artikel di Keluarga Esjepe...
Silkan klik di sini untuk membaca artikelnya :)
Minggu, 24 Maret 2013
"Buon Appetito!"
Jalan-jalan tanpa makan-makan rasanya kurang seru…
Apa lagi kalau perginya ke Italia, negara yang tidak hanya terkenal lewat mobil mewah, perancang haute couture, karya seni, dan arsitektur yang indah tetapi juga lewat kelezatan pizza dan pastanya. Saya mau berbagi sedikit cerita tentang pengalaman makan-makan selama di Milan, Italia. Kebetulan pasta adalah salah satu makanan favorit saya…
Hari pertama di Milan, Fitorio, memperkenalkan kami pada aperitivo, acara minum-minum sebelum makan malam, di sebuah resto bernama Maya yang terletak di distrik Navigli, tidak sampai 500 meter berjalan kaki dari stasiun metro Porta Romana. Selain minuman, pengunjung juga bisa menikmati berbagai makanan mulai dari salad, sup, roti, pasta, risotto, pizza, lasagna, hingga tiramisu, sepuasnya, cukup dengan membayar satu gelas minuman apa saja seharga 9 euro. Meskipun disebut makanan pembuka, bagi kebanyakan orang Indonesia, makanan-makanan itu sudah lebih dari cukup. Percayalah, lambung kita tak akan sanggup melanjutkan ke acara makan utama yang pilihan menunya pasti lebih berat lagi :D Bagi yang suka makan, saya sarankan untuk memesan minuman yang ringan saja seperti soft drink. Minuman yang terlalu berat akan membuat kita lekas kenyang dan semakin haus pula. Rugi kalau harus memesan minuman sampai dua kali, kan?
Dari sebegitu banyaknya jenis makanan yang disediakan di Maya, saya hanya sanggup mencicipi empat macam dalam porsi piring-piring kecil. Meskipun mata dan lidah masih tertarik, tapi perut sudah menyerah.
Secara umum, harga makanan di Milan lebih murah dari pada harga makanan di Den Haag. Pilihannya juga lebih beraneka. Untuk harga yang sama dengan resto kelas “warteg” di Den Haag, kita bisa mendapatkan makanan resto kelas kafe di Milan.
Malam terakhir di Milan kami sempatkan untuk pergi makan malam dengan
teman-teman mahasiswa Indonesia di sana; Fito, Wenny, Danny, serta
Catalina, seorang mahasiswi asal Kolombia. L’Osteria Pane e O’jo,
sebuah resto tradisional a la Roma, yang terletak di Via Ludovico
Muratori menjadi pilihan. Meskipun letaknya tak seberapa jauh dari
stasiun Porta Romana, tetapi kami sempat berputar-putar sewaktu mencari
alamatnya. Masalahnya, saat itu udara sedang sangat dingin ditambah
angin dengan hujan rintik-rintik, maka proses pencarian yang tak
seberapa lama itupun jadi terasa sangat panjang, apa lagi perut sudah
mulai keroncongan.
Temperatur kota yang dingin memang membuat saya merasa lebih cepat lapar. Dan rupanya di musim seperti itu perut melayu saya ini tidak cukup diisi dengan roti saja, dia menuntut makanan yang lebih berat seperti nasi, mie, atau pasta.
Setelah alamat ditemukan kami masih harus menunggu beberapa menit karena resto belum dibuka, pelayan bersikukuh meminta kami menunggu di luar, padahal hujan turun semakin deras. Saya baru merasa lega setelah masuk ke dalam ruangan resto yang hangat. Butuh perjuangan lebih untuk menikmati makan malam kali ini :)
Gnocchi adalah menu pertama. Entah karena lapar atau apa, makanan ini rasanya enaaaaak sekali. Kami langsung sikat hingga tandas :)
Menu kedua adalah spaghetti. Rasanya enak juga, tapi tidak selezat menu yang pertama.
Menu ketiga, fettucini, datang ketika spaghetti di meja belum sempat
kami habiskan. Celakanya, rasa fettucini yang kami pesan 11/12 alias
mirip dengan menu yang kami pesan sebelumnya. Alhasil makanan ketiga
tidak kami sentuh sama sekali :D Fitorio kami tugaskan untuk membawanya
pulang. “Kegilaan” saya terhadap pasta ternyata tak sedahsyat “kegilaan”
saya terhadap nasi!
Keesokan harinya kami sudah harus meninggalkan kota Milan dan kembali ke “posko” utama di Den Haag (itu berarti kembali makan roti dan keju Belanda).
Terima kasih Danny, Wenny, dan Catalina yang bersedia meluangkan waktu untuk menemani kami. Juga pada Fitorio, yang meskipun sibuk dan lelah tapi tetap berusaha menjadi tuan rumah yang baik buat kami berdua (dan untuk roti, nutella, dan teh hangat yang tersedia di meja setiap pagi).
Selamat tinggal pizza dan pasta, selamat datang oliebollen, keju, dan kentang goreng… :)
artikel ini juga bisa dibaca di sini
Apa lagi kalau perginya ke Italia, negara yang tidak hanya terkenal lewat mobil mewah, perancang haute couture, karya seni, dan arsitektur yang indah tetapi juga lewat kelezatan pizza dan pastanya. Saya mau berbagi sedikit cerita tentang pengalaman makan-makan selama di Milan, Italia. Kebetulan pasta adalah salah satu makanan favorit saya…
Hari pertama di Milan, Fitorio, memperkenalkan kami pada aperitivo, acara minum-minum sebelum makan malam, di sebuah resto bernama Maya yang terletak di distrik Navigli, tidak sampai 500 meter berjalan kaki dari stasiun metro Porta Romana. Selain minuman, pengunjung juga bisa menikmati berbagai makanan mulai dari salad, sup, roti, pasta, risotto, pizza, lasagna, hingga tiramisu, sepuasnya, cukup dengan membayar satu gelas minuman apa saja seharga 9 euro. Meskipun disebut makanan pembuka, bagi kebanyakan orang Indonesia, makanan-makanan itu sudah lebih dari cukup. Percayalah, lambung kita tak akan sanggup melanjutkan ke acara makan utama yang pilihan menunya pasti lebih berat lagi :D Bagi yang suka makan, saya sarankan untuk memesan minuman yang ringan saja seperti soft drink. Minuman yang terlalu berat akan membuat kita lekas kenyang dan semakin haus pula. Rugi kalau harus memesan minuman sampai dua kali, kan?
Dari sebegitu banyaknya jenis makanan yang disediakan di Maya, saya hanya sanggup mencicipi empat macam dalam porsi piring-piring kecil. Meskipun mata dan lidah masih tertarik, tapi perut sudah menyerah.
Secara umum, harga makanan di Milan lebih murah dari pada harga makanan di Den Haag. Pilihannya juga lebih beraneka. Untuk harga yang sama dengan resto kelas “warteg” di Den Haag, kita bisa mendapatkan makanan resto kelas kafe di Milan.
Kafe cantik di pinggir jalan… |
Kalau yang ini hanya dilewati saja :) |
Cita rasa makanannya juga lebih ok dari pada makanan Belanda…
Jangan lewatkan hari tanpa ini… |
dan ini… |
Setelah beberapa kali membeli kue dan kopi di sebuah kafe di Cadorna,
saya baru sadar kalau harga makanan/minuman ternyata bisa lebih murah
lagi kalau dinikmati sambil berdiri. Kebiasaan orang di Italia ini
memang lucu kalau diperhatikan; jalan – masuk kafe – pesan minuman –
tenggak – lalu jalan lagi, tanpa duduk.
Untuk makanan saya harus lebih cermat memilih. Cari yang aman saja, tanpa salami, pastrami, sosis, dsb… :)
Roti isi salmon… |
Spaghetti pomodoro; saus tomat, keju, dan daun basil… |
Roti + olive oil selalu tersedia dan gratis! |
Cheese Pizza |
Temperatur kota yang dingin memang membuat saya merasa lebih cepat lapar. Dan rupanya di musim seperti itu perut melayu saya ini tidak cukup diisi dengan roti saja, dia menuntut makanan yang lebih berat seperti nasi, mie, atau pasta.
Setelah alamat ditemukan kami masih harus menunggu beberapa menit karena resto belum dibuka, pelayan bersikukuh meminta kami menunggu di luar, padahal hujan turun semakin deras. Saya baru merasa lega setelah masuk ke dalam ruangan resto yang hangat. Butuh perjuangan lebih untuk menikmati makan malam kali ini :)
Menunggu sambil menggigil di bawah plang resto ini |
Wajah-wajah tersenyum menahan lapar |
Karena tak ada satupun dari kami berenam
yang mengerti betul makanan tradisional Italia kami sempat bingung juga
waktu memilih makanan yang tertera dalam buku menu. Akhirnya pilihan
kami jatuh pada:
Gnocchi |
Gnocchi adalah menu pertama. Entah karena lapar atau apa, makanan ini rasanya enaaaaak sekali. Kami langsung sikat hingga tandas :)
Spaghetti |
Fettucini |
Keesokan harinya kami sudah harus meninggalkan kota Milan dan kembali ke “posko” utama di Den Haag (itu berarti kembali makan roti dan keju Belanda).
Terima kasih Danny, Wenny, dan Catalina yang bersedia meluangkan waktu untuk menemani kami. Juga pada Fitorio, yang meskipun sibuk dan lelah tapi tetap berusaha menjadi tuan rumah yang baik buat kami berdua (dan untuk roti, nutella, dan teh hangat yang tersedia di meja setiap pagi).
Tuan rumah dan tamunya |
“Life is a combination of magic and pasta.”
- Federico Fellini
Arrivederci!
artikel ini juga bisa dibaca di sini
“Tuhan menciptakan Italia lewat rancangan Michelangelo."
Pagi yang beku dengan hiasan hujan rintik-rintik hari itu tidak menyurutkan niat kami untuk kembali menjelajahi Milan.
Setelah Duomo, kini giliran Cadorna.
Bila saya bandingkan dengan wilayah Duomo, Cadorna terlihat lebih fresh dengan munculnya bangunan-bangunan moderen di antara gedung-gedung bergaya neoklasik. Yang paling mencolok mata adalah bangunan Stasiun KA commuter Milano Cadorna. Begitu keluar dari stasiun metro di Piazzale Cadorna, stasiun berwarna hijau toska dengan aksen warna merah menyala pada pilar-pilarnya itu akan segera tertangkap oleh mata.
Tujuan utama kami ke Cadorna adalah Triennale Design Museum, untuk melihat TDM5: grafica italiana yang berlangsung sejak 12 April 2012 hingga 24 Februari 2013. Berbagai karya desainer grafis Italia ternama seperti: Albe Steiner, Franco Grignani, Bruno Munari, Bob Noorda, Armando Testa, dan Massimo Vignelli dipajang di pameran ini. Kita bisa mengikuti perjalanan seni grafis dan komunikasi visual Italia mulai abad 20-an dan merasakan bagaimana pentingnya peran para desainer itu dalam pembentukan sosial, ekonomi, dan budaya Italia. Yang menarik, karya-karya beberapa desainer dalam bentuk sketsa maupun tugas-tugas semasa kuliah ditampilkan juga di sini. Saya sempat senyum-senyum sendiri saat melihat tugas masa sekolah Bruno Munari, yang disebut-sebut sebagai Leonardo da Vinci abad ke-20, terlihat masih sangat "cupu" :). Sayang, aturan dilarang memotret di museum ini sangat ketat sehingga tak ada satu foto pun yang bisa saya share.
Selain TDM5: Grafica Italiana, ada juga pameran-pameran lain yang sedang berlangsung di sana, seperti: "FL:HOURS" oleh Aleksandra Lajtenberger, "L’architettura del Mondo
Infrastrutture, mobilità, nuovi paesaggi", sebuah pameran arsitektur infrastruktur keren di berbagai negara, termasuk Italia, yang bikin saya merasa iri :), "Dracula e il mito dei vampiri" pameran yang membahas tentang drakula dari segi mitos maupun sejarahnya, dan juga "Un Designer per le Imprese", sebuah pameran karya 30 mahasiswa yang terpilih dari 150 mahasiswa sekolah-sekolah desain di Milan. Proyek ini adalah kerjasama antara sekolah-sekolah desain di Milan dan Asosiasi Perusahaan Milan, dengan menggunakan bahan-bahan dari Material ConneXion Italia, untuk mendukung inovasi dan kreatifitas UKM di Milan. Menarik sekali.
Dari stasiun Milano Cadorna ke museum Triennale di Viale Alemagna, kami berjalan kaki selama sekitar 10 menit. Dan sebenarnya waktu sampai di museum hari masih terlalu pagi, museum belum buka, maka kami pun memutuskan untuk berbelok, masuk ke sebuah taman luas di dekat situ.
Taman seluas 386,000 m² itu diapit oleh dua buah landmark kota Milan, Sforza Castle dan Arco della Pace alias Arch of Peace. Yang menyenangkan, selain pemandangan indah taman ini juga menyediakan koneksi internet gratis! :D
Parco Sempione pagi itu tampak sepi, hanya terlihat beberapa warga setempat yang sedang jogging atau membawa anjing piaraan berjalan-jalan. Kabarnya pada bulan September, saat Festival Film Milan diselenggarakan, taman itu baru ramai dipenuhi pengunjung.
Lalu, apa lagi yang menarik dari Cadorna? Buat saya cara paling asik menikmati Cadorna, selain lewat museum desain dan tamannya, adalah duduk santai di cafe pinggir jalan, menikmati secangkir cappuccino dan kue-kue Italia yang lezat sambil memperhatikan orang-orang berlalu-lalang. Cara orang Italia berbicara dengan mimik wajah dan gerakan tangannya yang ekspresif adalah pemandangan yang sangat menarik (Kami sampai membeli sebuah buku tentang arti gerakan tangan itu). Di antara para pejalan kaki banyak terlihat mahasiswa sekolah seni, terlihat dari gaya berpakaian nyentrik dan tas berukuran besar yang mereka kenakan. Memang terdapat beberapa universitas di wilayah Cadorna ini, salah satunya Brera Academy of Fine Arts yang melahirkan artis dan desainer ternama seperti Bruno Munari.
Satu lagi, harga makanan dan minuman di cafe-cafe Cadorna lebih murah harganya bila dibandingkan dengan Duomo, mungkin karena wilayah ini lebih bernuansa pelajar ketimbang turis ya? :) Keesokan harinya, meskipun kami kembali pergi ke Duomo tetapi kami tetap pergi ke Cadorna untuk makan dan "nongkrong" di cafenya.
Nah, itulah cerita dari Cadorna, Milan. Italia memang terkenal dalam hal seni, desain, dan makanan, tiga hal yang paling menarik perhatian saya. Lain kali saya akan bercerita khusus tentang makanan lezat yang kami cicipi selama di Milan. Sabar ya!
Pagi yang dingin dan basah, dari jendela dapur apartemen |
Setelah Duomo, kini giliran Cadorna.
Kembali naik metro |
Bila saya bandingkan dengan wilayah Duomo, Cadorna terlihat lebih fresh dengan munculnya bangunan-bangunan moderen di antara gedung-gedung bergaya neoklasik. Yang paling mencolok mata adalah bangunan Stasiun KA commuter Milano Cadorna. Begitu keluar dari stasiun metro di Piazzale Cadorna, stasiun berwarna hijau toska dengan aksen warna merah menyala pada pilar-pilarnya itu akan segera tertangkap oleh mata.
Yang tua dan yang muda bersanding dengan harmonis |
Sepeda sewaan, alternatif alat transportasi di Milan |
Petunjuk cara membuka dan mengembalikan sepeda, dalam dua bahasa |
Tujuan utama kami ke Cadorna adalah Triennale Design Museum, untuk melihat TDM5: grafica italiana yang berlangsung sejak 12 April 2012 hingga 24 Februari 2013. Berbagai karya desainer grafis Italia ternama seperti: Albe Steiner, Franco Grignani, Bruno Munari, Bob Noorda, Armando Testa, dan Massimo Vignelli dipajang di pameran ini. Kita bisa mengikuti perjalanan seni grafis dan komunikasi visual Italia mulai abad 20-an dan merasakan bagaimana pentingnya peran para desainer itu dalam pembentukan sosial, ekonomi, dan budaya Italia. Yang menarik, karya-karya beberapa desainer dalam bentuk sketsa maupun tugas-tugas semasa kuliah ditampilkan juga di sini. Saya sempat senyum-senyum sendiri saat melihat tugas masa sekolah Bruno Munari, yang disebut-sebut sebagai Leonardo da Vinci abad ke-20, terlihat masih sangat "cupu" :). Sayang, aturan dilarang memotret di museum ini sangat ketat sehingga tak ada satu foto pun yang bisa saya share.
Banner TDM5 di depan gedung museum |
Selain TDM5: Grafica Italiana, ada juga pameran-pameran lain yang sedang berlangsung di sana, seperti: "FL:HOURS" oleh Aleksandra Lajtenberger, "L’architettura del Mondo
Infrastrutture, mobilità, nuovi paesaggi", sebuah pameran arsitektur infrastruktur keren di berbagai negara, termasuk Italia, yang bikin saya merasa iri :), "Dracula e il mito dei vampiri" pameran yang membahas tentang drakula dari segi mitos maupun sejarahnya, dan juga "Un Designer per le Imprese", sebuah pameran karya 30 mahasiswa yang terpilih dari 150 mahasiswa sekolah-sekolah desain di Milan. Proyek ini adalah kerjasama antara sekolah-sekolah desain di Milan dan Asosiasi Perusahaan Milan, dengan menggunakan bahan-bahan dari Material ConneXion Italia, untuk mendukung inovasi dan kreatifitas UKM di Milan. Menarik sekali.
Poster pameran “Un Designer per le Imprese”, ada beberapa nama mahasiswa Indonesia juga di sana :) |
Sayang tak boleh memotret… |
Dari stasiun Milano Cadorna ke museum Triennale di Viale Alemagna, kami berjalan kaki selama sekitar 10 menit. Dan sebenarnya waktu sampai di museum hari masih terlalu pagi, museum belum buka, maka kami pun memutuskan untuk berbelok, masuk ke sebuah taman luas di dekat situ.
Semplon Park |
Taman seluas 386,000 m² itu diapit oleh dua buah landmark kota Milan, Sforza Castle dan Arco della Pace alias Arch of Peace. Yang menyenangkan, selain pemandangan indah taman ini juga menyediakan koneksi internet gratis! :D
Pancuran air |
Kolam di tengah taman |
Pohon-pohon mulai rontok daunnya |
Parco Sempione pagi itu tampak sepi, hanya terlihat beberapa warga setempat yang sedang jogging atau membawa anjing piaraan berjalan-jalan. Kabarnya pada bulan September, saat Festival Film Milan diselenggarakan, taman itu baru ramai dipenuhi pengunjung.
Seorang pengunjung di depan patung berbentuk amphitheater, Seduta Musicale |
Warga Cadorna dan anjingnya… |
Ngobrol seru |
Saat bersosialisasi bagi para majikan dan anjingnya |
Hmmm…hijau toska (dan merah) adalah identitas warna Cadorna atau Milan? |
Lalu, apa lagi yang menarik dari Cadorna? Buat saya cara paling asik menikmati Cadorna, selain lewat museum desain dan tamannya, adalah duduk santai di cafe pinggir jalan, menikmati secangkir cappuccino dan kue-kue Italia yang lezat sambil memperhatikan orang-orang berlalu-lalang. Cara orang Italia berbicara dengan mimik wajah dan gerakan tangannya yang ekspresif adalah pemandangan yang sangat menarik (Kami sampai membeli sebuah buku tentang arti gerakan tangan itu). Di antara para pejalan kaki banyak terlihat mahasiswa sekolah seni, terlihat dari gaya berpakaian nyentrik dan tas berukuran besar yang mereka kenakan. Memang terdapat beberapa universitas di wilayah Cadorna ini, salah satunya Brera Academy of Fine Arts yang melahirkan artis dan desainer ternama seperti Bruno Munari.
Kopi dan kue-kue lezat |
Ngopi sambil "nonton" orang lewat |
“Tamu” di meja kami :) |
Satu lagi, harga makanan dan minuman di cafe-cafe Cadorna lebih murah harganya bila dibandingkan dengan Duomo, mungkin karena wilayah ini lebih bernuansa pelajar ketimbang turis ya? :) Keesokan harinya, meskipun kami kembali pergi ke Duomo tetapi kami tetap pergi ke Cadorna untuk makan dan "nongkrong" di cafenya.
Di depan tembok Sforza Castle |
Nah, itulah cerita dari Cadorna, Milan. Italia memang terkenal dalam hal seni, desain, dan makanan, tiga hal yang paling menarik perhatian saya. Lain kali saya akan bercerita khusus tentang makanan lezat yang kami cicipi selama di Milan. Sabar ya!
"The Creator made Italy from designs by Michelangelo."
~Mark Twain
artikel ini juga bisa dibaca di sini
Minggu, 10 Maret 2013
“Alam semesta boleh kau miliki, asalkan Italia boleh kumiliki.”
Di sela-sela kunjungan saya dan suami ke Negeri Belanda
akhir tahun lalu, pergi ke Italia adalah bonus. Sebenarnya tujuan utamanya adalah mengunjungi oma yang saat itu tengah dirawat di
rumah sakit Utrecht, tapi keluarga yang tinggal di Den Haag mendesak
kami untuk pergi ke sana. “Sudah jauh-jauh datang ke Eropa, jangan hanya
bolak-balik Den Haag-Utrecht saja,” begitu kata mereka. Maka, setelah
menimbang-nimbang kami pun memutuskan untuk pergi ke Milan. Dengan Easy
Jet, maskapai penerbangan murah-meriah-nya Eropa, berangkatlah kami berdua ke kota yang sudah lama saya idam-idamkan itu.
Perjalanan dimulai…
Dan keesokan paginya, dengan gagah berani kami pun mulai menjelajahi Milan :)
Duomo adalah pusat kota Milan. Bangunan Milan Cathedral dan lapangan luas berada di tengah, dikelilingi oleh gedung-gedung pertokoan, museum, kantor, cafe, dan restoran. Keberadaan bangunan Cathedral yang dibangun pada tahun 1386 itu, ditambah dengan museum serta butik-butik terkenal, menjadikan Duomo sebagai daerah turis. Banyak pedagang asongan yang sebagian besar adalah imigran dari Afrika berkeliaran di sana. Sebelum berangkat, Fitorio sudah mengingatkan kami untuk tidak menyentuh barang apa pun yang mereka tawarkan, karena menyentuh sama saja artinya dengan membeli :)
Selain Milan Cathedral, banyak hal menarik yang kami lihat di Duomo. Antara lain: bazar barang bekas dan antik,
Lalu ada Museum del Novicento di Arengario Palace, tidak jauh dari alun-alun Duomo. Di museum ini kita bisa mengikuti perjalanan sejarah seni rupa Italia mulai abad 20-an. Selain karya-karya seniman besar Italia seperti Modigliani, Boccioni, Fontana, dan Morandi, kita juga bisa menikmati karya seniman-seniman dunia seperti Picasso, Kandinskij, Braque, Mondrian, Klee, Matisse, hingga Issey Miyake. Berada di dalam museum ini sempat bikin saya sakit perut, hal yang biasa saya alami bila berada di tempat yang membuat saya merasa sangat antusias… :))
dan jangan lupa mampir juga ke…
Supermarket yang isinya barang-barang karya desainer Italia maupun mancanegara ini juga bikin perut saya terasa mulas… -_-*
Tapi ada juga pemandangan yang membuat miris...
Seharian kami berada di Duomo dan sangat menikmati pengalaman pertama menjelajah kota Milan.
Tujuan kami hari berikutnya adalah wilayah Cadorna. Dibandingkan dengan Duomo yang sangat turistik, saya lebih menikmati berada di Cadorna. Mengapa? Baca lanjutannya ya!
indah
Baca juga artikel ini di sini
Perjalanan dimulai…
Dari Schipol ke Malpensa, bersama para "alay" Italia :) |
Hujan menyambut kedatangan kami di Milan |
Membeli tiket bus Malpensa-Centrale |
Perjalanan dari Malpensa ke Centrale makan waktu satu jam, tanpa macet.
Cuaca dingin berangin yang sungguh aduhaaaiii langsung terasa begitu
keluar dari bus. Milan ternyata sama saja dinginnya dengan Den Haag. Di
Centrale, sahabat kami Fitorio,
sudah menunggu. Desainer produk yang sedang kuliah S2 di Milan itu
bersedia menampung selama kami berada di sana. Dalam perjalanan menuju
apartemen mungilnya, Fitorio menjelaskan rute-rute bus dan metro yang
penting untuk kami ingat bila bepergian. Maklum, saat itu dia sedang
sibuk dengan berbagai tugas kuliah dan waktu untuk menemani kami tentu
sangat sedikit. Maka kami pun mulai mencatat dan mengingat…
Stasiun persinggahan, Abbiategrasso ke/dari Centrale/Duomo/Cadorna via Romolo |
Stasiun utama, Romolo, bila akan ke/dari apartemen Fitorio |
Bus no.91 tumpangan kami dari apartemen ke Romolo |
Suasana di dalam metro |
Duomo, tujuan pertama |
Alun-alun kota Milan dilihat dari teras Milan Cathedral… |
Duomo adalah pusat kota Milan. Bangunan Milan Cathedral dan lapangan luas berada di tengah, dikelilingi oleh gedung-gedung pertokoan, museum, kantor, cafe, dan restoran. Keberadaan bangunan Cathedral yang dibangun pada tahun 1386 itu, ditambah dengan museum serta butik-butik terkenal, menjadikan Duomo sebagai daerah turis. Banyak pedagang asongan yang sebagian besar adalah imigran dari Afrika berkeliaran di sana. Sebelum berangkat, Fitorio sudah mengingatkan kami untuk tidak menyentuh barang apa pun yang mereka tawarkan, karena menyentuh sama saja artinya dengan membeli :)
Milan Cathedral, gereja ke-3 terbesar di dunia, dilihat dari gedung Museo Del Novecento |
Selain Milan Cathedral, banyak hal menarik yang kami lihat di Duomo. Antara lain: bazar barang bekas dan antik,
Berbagai gambar dan hiasan bertema keagamaan |
Potongan iklan-iklan lama dari majalah |
Papan reklame tua |
Lalu ada Museum del Novicento di Arengario Palace, tidak jauh dari alun-alun Duomo. Di museum ini kita bisa mengikuti perjalanan sejarah seni rupa Italia mulai abad 20-an. Selain karya-karya seniman besar Italia seperti Modigliani, Boccioni, Fontana, dan Morandi, kita juga bisa menikmati karya seniman-seniman dunia seperti Picasso, Kandinskij, Braque, Mondrian, Klee, Matisse, hingga Issey Miyake. Berada di dalam museum ini sempat bikin saya sakit perut, hal yang biasa saya alami bila berada di tempat yang membuat saya merasa sangat antusias… :))
Museum of Twentieth Century |
dan jangan lupa mampir juga ke…
Design Supermarket di la Rinascente dept.store!!! |
Supermarket yang isinya barang-barang karya desainer Italia maupun mancanegara ini juga bikin perut saya terasa mulas… -_-*
Suasana di dalam Design Supermarket |
Spiderelephant… :) |
Desain khusus untuk anak yang susah makan |
Boks kaleng Pantone |
Kursi lipat Pantone |
Ini membuat semua bayi tampak cool! :)) |
Notebook ber-quote |
Dan yang paling membanggakan: radio Magno karya Mas Singgih!!! |
Selain melihat-lihat karya seni dan desain keren, kami juga disuguhi
“pertunjukan” gratis :) Sebagai salah satu dari negara di Eropa yang
terkena krisis ekonomi cukup parah, Milan di Italia juga tak luput dari
berbagai aksi mogok..,
Poster pemogokan masal di Eropa |
demonstrasi...
Sayang kami tak mengerti apa tuntutan dari para pekerja imigran ini |
Tapi ada juga pemandangan yang membuat miris...
Peminta-minta bertelanjang kaki ditengah udara yang sangat dingin… :( |
Seharian kami berada di Duomo dan sangat menikmati pengalaman pertama menjelajah kota Milan.
Tujuan kami hari berikutnya adalah wilayah Cadorna. Dibandingkan dengan Duomo yang sangat turistik, saya lebih menikmati berada di Cadorna. Mengapa? Baca lanjutannya ya!
“You may have the universe, if I may have Italy.”
~Giuseppe Verdi
Salam,indah
Baca juga artikel ini di sini
Langganan:
Postingan (Atom)